Pentingnya Menceritakan Kisah-kisah Islami kepada Anak-anak
Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat
bahwa anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak,
sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang
membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi,
bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya. Usia anak
0 - 5 tahun adalah usia golden-age atau usia emas. Pada masa ini, anak-anak
mengembangkan hampir 80% otaknya.
Kemampuan otak anak-anak untuk menyerap
informasi sangat tinggi. Informasi yang mereka peroleh pada masa ini akan
berdampak bagi kehidupannya di kemudian hari. Oleh karena itu, perhatian orang
tua mengenai informasi yang diserap pada usia ini sangatlah penting.
Anak-anak
mendapatkan informasi melalui berbagai macam media, seperti interaksi langsung
dengan orang tuanya, benda-benda di sekitarnya, lingkungan tempat bermainnya,
buku-buku, dan televisi. Sayangnya, media informasi yang banyak diminati
anak-anak adalah media televisi. Ya, televisi merupakan media informasi yang
efektik bagi anak-anak. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahwa
anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak,
sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang
membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi,
bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya.
Penelitian
menunjukkan, cara anak melihat televisi lebih canggih dari yang kita duga.
Daniel Anderson dari University of Massachusetts dan Lizabeth Lorch psikolog
dari Armheist College, belakangan--sekitar tahun 1970-an--mulai meneliti hal
ini dan menyimpulkan bahwa anak-anak lebih tertarik pada informasi yang
didapatkannya daripada unsur-unsur tayangan yang terlihat gemerlap dan
berkilat. Dalam sebuah eksperimen, Anderson dan Lorch mempertontonkan episode
film anak-anak yang dipotong-potong (disunting) sehingga informasinya menjadi
tidak beraturan. Mereka memilih episode yang memang terbukti disenangi
anak-anak. Akan tetadpi setelah disunting, episode yang semula sangat digemari
anak-anak itu menjadi tidak digemari lagi; anak-anak meninggalkan tayangan
tersebut.
Dalam eksperimen lainnya, mereka melakukan percobaan terhadap dua
kelompok anak-anak usia lima tahunan. Kelompok pertama berada dalam sebuah
ruangan yang diberi banyak mainan, kelompok kedua berada dalam sebuah ruangan
tanpa mainan. Dalam dua ruangan tersebut, program televisi anak-anak
ditayangkan. Hasilnya? seperti yang kita duga, anak-anak yang diberi mainan
hanya menggunakan 47% waktunya untuk menonton televisi, sedangkan anak-anak
yang tidak diberi mainan menggunakan 87% waktunya untuk menonton televisi.
Tidak mengherankan. [1] Yang mencengangkan adalah, ketika kedua kelompok
tersebut ditanya mengenai isi tayangan, hampir semuanya menjawab dengan porsi
yang sama, tidak muncul perbedaan antara kelompok yang diberi mainan dan yang
tidak diberi mainan.
Mereka menyimpulkan bahwa, "Anak-anak usia lima tahun
di ruangan penuh mainan menjalankan permintaan penguji dengan cara yang
strategis sekali, yakni membagi perhatian mereka antara bermain dan menonton
sedemikian sehingga mereka menonton hanya bagian-bagian yang menurut mereka
paling informatif. Strategi ini begitu efektif sehingga anak-anak tersebut
tidak harus menonton terus menerus." Kalau kita cermati hasil penelitian
ini, kita akan tersadar betapa besar pengaruh televisi pada anak-anak usia
emas. Anak-anak tidak hanya melihat gambar-gambar saja, tapi meresapi informasi
yang disampaikan. Informasi ini kemudian membentuk kepribadian yang akan
membekas sampai anak menginjak usia dewasa.
Jika tayangan televisi yang
ditayangkan berupa fantasi, anak-anak akan mencoba membayangkan dunia ini
layaknya di dunia fantasi. Jika tayangan yang ditayangkan berupa Doraemon,
anak-anak akan mencoba berimajinasi berada di dunia Doraemon, begitu
seterusnya. Dr Muhamad Salah, memperingatkan bahayanya tayangan-tayangan
fantasi bagi anak-anak. "Ada banyak cerita yang tidak baik untuk
disampaikan kepada anak-anak." kata Dr Muhammad Salah dalam sebuah acara
diskusi, "seperti cerita-cerita fiksi atau fiksi ilmiah, juga cerita
superhero seperti superman, kura-kura ninja, dan sebagainya."
Cerita-cerita tersebut membuat anak-anak berusaha menghubung-hubungkan dunia
fantasi--yang tidak rasional--kepada kenyataan yang ada--yang rasional. Bisa
dibayangkan jika anak-anak ditanya tentang realita negara Palestina yang
dijajah Israel, anak-anak akan berkomentar 'datangkan superman, atau power
ranger', bukan berkomentar tentang kepahlawanan Salahuddin Al-Ayubi atau
kepemimpinan Umat bin Khattab.
Cerita-cerita fiksi membuat nak-anak dilatih
untuk berpikir tidak rasional. Yang lebih membahayakan adalah jika tayangan
yang ditayangkan berupa sinetron, gosip artis, dan tayangan kriminal, yang
bukan lagi berupa fantasi tapi seakan-akan realita sehari-hari, maka anak-anak
akan membayangkan kehidupan sehari-hari mereka akan seperti yang mereka tonton.
Sayangnya, hampir tidak ada acara televisi yang baik untuk anak-anak, entah
tayangan fiksi maupun non-fiksi. Kalaupun ada, paling tidak iklannya tidak baik
untuk anak-anak. Sangat sulit bagi orang tua memilih tayangan televisi yang
baik untuk anak-anak mereka.
Oleh karena itu, kita perlu membiasakan anak-anak
mendapatkan informasi denagn media lain selain televisi, yaitu interaksi
langsung dengan orang-tua. Hanya dengan cara inilah kita dapat memilih-milih
informasi yang tepat untuk anak-anak. Story-telling, atau menceritakan
kisah-kisah dengan gaya yang interaktif dan menarik dapat menjadi solusi
alternatif yang ampuh sekaligus besar manfaatnya. Kebiasaan menceritakan
kisah-kisah ini harus dimulai sejak dini, sebelum anak-anak lebih tertarik
kepada televisi. Kebiasaan ini pula yang akan membuat anak-anak suka membaca.
Dr Sigman, seorang penelti dan psikolog dari British Psychological Society
mengatakan, "Sangat sulit membuat anak-anak tertarik dengan membaca
kecuali dengan membuat mereka tertarik sedini mungkin.", dia menambahkan,
"Banyaknya stimulasi dari media televisi dan komputer, menurut para
peneliti, berdampak buruk pada anak-anak." [2] Kisah-kisah terbaik untuk
anak-anak adalah kisah Islami, sebagaimana dikatakan Dr Muhamad Salah.
Tidak
ada alasan bagi kita untuk memilih kisah-kisah selain kisah Islami. Pertama,
karena manfaatnya besar, kedua kisah-kisah Islami sedemikian banyaknya hingga
tidak akan kehabisan cerita. [3] Sebut saja kisah-kisah yang ada di Al-QUr'an,
kisah Nabi Musa dengan Fir'aun, Nabi Nuh, Nabi Sulaiman dengan ratu Balqis,
Nabi Yunus dengan Ikan paus, dan kisah-kisah Nabi lainnya. Kisah ashabul kahfi,
kisah Lukman Al-Hakim, kisah keluarga Imran, kisah Khidir, juga kisah Abu
Lahab, Samiri,
Dzulkarnain dan Ya'juj dan Ma'juj, dan belum lagi kisah-kisah
tentang binatang seperti Gajah, burung Hud-Hud, burung Ababil, semut dan Nabi
Sulaiman, lebah, sapi betina, dan sebagainya. Dari Al-Quran saja banyak kisah
menarik yang dapat diceritakan kepada anak-anak, apalagi ditambahkan
kisah-kisah yang berasal dari hadits, seperti kisah tiga orang bani Israil yang
diuji dengan penyakit lepra, buta, dan botak, hampir-hampir tak terbatas
jumlahnya. Kisah-kisah tersebut harus diceritakan dengan gaya bahasa anak-anak
agar mudah diterima. Lebih baik lagi jika orang tua sudah hafal diluar kepala
tentang kisah-kisah tersebut agar tidak perlu membaca buku untuk menceritakan
kepada anaknya. Disamping bisa mengimprovisasi dengan gaya bahasa anak-anak,
orang tua juga dapat menceritakan kisah-kisah tersebut kapan saja anak-anak
membutuhkannya. "Menceritakan kisah-kisah kepada anak-anak bukan seperti
memberikan obat yang harus diminum sesuai aturan," kata Dr Muhamad Salah, "Ketika
anak-anak bosan, hentikan, ketika anak-anak menginginkannya ceritakan."
Selain gaya bahasa, lingkungan juga perlu disesuaikan agar anak-anak terstimuli
dengan kisah-kisah tersebut. Yuk kita mulai membiasakan menceritakan
kisah0kisah Islami kepada anak-anak di keluarga kita!
Baca
Juga Artikel Ini :
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yansyafri/pentingnya-menceritakan-kisah-kisah-islami-kepada-anak-anak_550dfaec813311892cbc6162
Posting Komentar